Jumat, 14 Desember 2012

JURNAL EKONOMI KOPERASI 1 (2)



Review
 
KOPERASI SEBAGAI LEMBAGA INTERMEDIASI KEUANGAN UNTUK PEMBIAYAAN USAHA MIKRO DI PEDESAAN DALAM RANGK A MENDUKUNG UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2008

 *) Peneliti pada Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK


Oleh
Achmad H. Gopar*)

II. Kondisi Umum Intermediasi Keuangan di Negara Negara Berkembang
Intermediasi keuangan di negara-negara berkembang umumnya lebih menekankan kegiatan pada sisi pemberian pinjaman/kreditnya saja dibanding pada sisi pemupukan modal. Oleh karena itu lazimnya hanya disebut sistem perkreditan saja. Intermediasi keuangan dibeberapa negara berkembang juga selalu berkaitan dengan proses pembangunan. Para pakar kredit umumnya sepakat, kredit memegang peranan sangat penting untuk mempercepat laju pertumbuhan,memperbaiki pengalokasian sumber daya dan mengurangi ketimpangan distribusi pendapatan, terutama di pedesaan.
Pada periode 1960-1970-an banyak negara berkembang, seringkali dengan bantuan yang sangat besar dari negara-negara donor, membangun sistem perkreditan dengan mengandalkan pada kebijaksanaan pengendaliantingkat bunga pinjaman agar tetap dibawah tingkat bunga pasar. Walaupun peranannya sangat besar, namun tidak berarti bahwa program kredit tersebut luput dari berbagai permasalahan. Umumnya program tersebut memerlukan jumlah dana sangat besar; tingkat pengembalian kredit sangat rendah; sulitnya kaum papa terutama dipedesaan mempunyai akses terhadap kredit murah; dan masih saja diragukan apakah peningkatan jumlah arus kredit benar-bener meningkatkan laju pembangunan, terutama dipedesaan. Yang lebih menyedihkan, banyak dari lembaga intermediasi keuangan yang melaksanakan program tersebut tidak dapat mandiri. Kredit murah dan kredit yang mempunyai sasaran tertentu saja telah lama mendapat kecaman dari banyak pengamat, terutama para pakar dari Ohio State University dan Bank Dunia yang berkeyakinan bahwa kebijaksanaan tersebut melemahkan lembaga keuangan mikro (LKM/LIK) .
Tingkat bunga kredit mikro yang rendah menyebabkan LIK juga menawarkan bunga yang rendah kepada penabung potensial, sehingga akan menurunkan jumlah tabungan dan memaksa LIK bergantung kepada dana murah atau subsidi dari Bank Sentral untuk menjamin likuiditas dan umumnya dikendalikan oleh penjatahan administratif ataupun politis. Cara pertama akan meningkatkan biaya transaksi. Sedangkan cara terakhir akan menyebabkan timbulnya “permainan” dalam analisis kelayakan kredit dan atau “kekeliruan yang disengaja” oleh peminjam yang berbasis politis kuat, dan pada akhirnya akan menyebabkan kredit macet
Biaya transaksi yang tinggi merupakan masalah lumrah pada sistem perkreditan di negara-negara berkembang. Masalah ini terutama disebabkan fragmentasi pasar, transaksi yang kecil-kecil, biaya informasi yang tinggi, dan risiko serta ketidakpastian yang tinggi. Hal-hal tersebut mengakibatkan penerimaan bersih bagi penabung menjadi sangat rendah, biaya total (termasuk pengeluaran bukan bunga) bagi peminjam menjadi sangat tinggi, ukuran pasar uang tetap saja kecil, dan volume dana yang dimobilisasikan serta variasi jasa keuangan menjadi tetap terbatas. Lebih lanjut, mengingat biaya transaksi dipedesaan lebih tinggi dari pada diperkotaan, jasa-jasa kredit dan perbankan cenderung lebih konsentrasi diperkotaan.
Kebijaksanaan dan regulasi keuangan, termasuk pembatasan tingkat bunga dan kecurigaan terhadap para pengijon serta renternir, menyebabkan lebih parahnya kondisi tersebut diatas. Sehingga berakibat lebih terkonsentrasinya kredit murah kepada beberapa tangan saja. Hanya sebagian kecil saja dari masyarakat dapat mempunyai akses kepada kredit formal, melalui LIK yang nyatanya sulit dikatakan layak dan hanya dapat menawarkan jasa pinjaman, bukan fasilitas tabungan. Dana kredit datangnya pada pemerintah, bank sentral, dan negara atau lembaga donor. Sedangkan keterbatasan intermediasi antara penabung lokal dan investor lebih memarakan kesenjangan tingkat penerimaan marjinal untuk suatu investasi.
Argumen-argumen diatas tidak lagi lebih menitik beratkan penilaian terhadap tingkat bunga saja. Namun juga mempermasalahkan peranan LIK, khususnya bagaimana seharusnya suatu LIK yang mandiri dapat dirangsang dan dibangun. Pertanyaan; “berapa suku bunga?” masih tetap penting. Bahkan kini selalu diserta dengan peertanyaan yang setara: “bagaimana kelembagaannya?” yang jelas, untuk menjangkau masyarakat banyak dengan jasa keuangan tidak cukup hanya dengan mempromosikan suatu bentuk kelembagaan khusus saja. Walaupun banyak laporan tentang bentuk LIK yang mungkin cocok, terutama untuk pedesaan, namun sedikit sekali yang menbahas tentang dimensi organisasi dari LIK tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar